Rabu, 12 Mei 2010

Peran Wanita

Perempuan, antara Eksistensi dan Domestikasi peran;
(Sebuah Potret ambivalensi yang menghegemoni pemikiran masyarakat dunia)

* Prolog

Sebuah diskursus yang menyoal eksistensi perempuan selalu saja menjadi bahan pembicaraan hangat yang masih saja berdampak ambigu dalam sketsa pemikiran masyarakat dunia. Sebagaimana yang kita lihat, Dimasa silam, kedudukan perempuan teramat miris dan pilu. Keterbelengguan seringkali mengikat gerak lingkup mereka, bahkan dalam hak untuk bersuara sekalipun. Konon, kebencian bangsa yunani terhadap makhluk yang berlevel ambiguitas ini semakin mencuat, terlebih disaat posisinya disama ratakan dengan sejenis kotoran dan jelmaan syetan. Begitupula bangsa yahudi, yang mendoktrin wanita sebagai budak sehingga bisa seenaknya untuk diperjual belikan. Dan lebih naifnya, pembunuhan bayi hidup-hidup, ternyata sudah menjadi tradisi lama bangsa Arab yang notabene mengklaim perempuan sebagai aib kehidupan terbesar nomor satu.

Namun, berbeda halnya dengan agama Islam, agama yang sejatinya rahmatan li-al-'Alamin, bergerak memayungi segala tindak-tanduk manusia yang tak berlandaskan keadilan. Islam tidak pernah merendahkan derajat wanita, justru memperlakukan perempuan dengan sangat mulia dan memberikan kedudukan yang tinggi. Ini semua dapat kita lihat bahwa islam meninggikan derajat seorang ibu tiga tingkat dibandingkan ayah, menjanjikan syurga bagi istri sholihah, memberikan batasan untuk menikahi wanita cukup dengan empat saja, dan juga memberikan batas thalak cukup tiga, serta memberikan hak warisnya. Betapa mulianya hakikat perempuan dimata Islam.

Perempuan bagaikan mutira yang sangat mahal harganya, terlebih apabila mutira itu tidak pernah tersentuh, itulah bak wanita shalihah yang pastinya dinantikan oleh penjuru dunia. Syurga dibawah telapak kaki kaum ibu. Sekiranya kaum ibu baik, maka baiklah negaranya, tapi sekira- nya kaum ibu rusak, rusaklah negaranya.

Terkait peran perempuan dalam realita kehidupan, tak dipungkiri, posisinya seringkali menjadi bahan perbincangan yang sarat kontroversial. Inilah alasan mendasar penulis untuk membahas tema diskursif ini lebih lanjut.

* Bagaimanakah selayaknya perempuan berperan?

Pada hakikatnya, kedudukan perempuan tidaklah tragis sebagaimana pemahaman orang-orang dimasa silam, akan tetapi dalam Islam sendiri atau dalam pandangan Allah SWT, derajat perempuan adalah sama dengan laki-laki. Ini bisa dilihat pada ayat berikut, seperti firman-Nya:

( يآايهاالناس اتقوربكم الذي خلقكم من نفس واحدة (النساء : ا

Islam juga memberikan apa yang telah menjadi haknya seorang perempuan, tidak pernah memaksa, bahkan memberikan kebebasan untuk memilih. Misalnya saja dalam hal menuntut ilmu, laki-laki dan perempuan sama saja diwajibkan untuk menuntut ilmu dijalan Allah SWT. Sama halnya dalam pemberian ganjaran ataupun pahala, Islam tidak pernah membedakan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana dalam firman-Nya:"Allah menciptakan surga kepada orang orang mukmin, baik laki-laki maupun wanita.”

Kita ketahui bersama, Indonesia merupakan negara yang sangat plural,.yang mana kaum intelektual, merupakan aset negara yang sangat diperlukan dalam rangka menuju perbaikan dan perubahan. Dengan kata lain, sebuah pergerakan memang sangat berdampak luar biasa disaat masa perkembangan zaman seperti ini. Dan itu dapat kita buktikan bukan hanya laki-laki saja yang dituntut untuk bangkit, melainkan bagi perempuan juga tidak mau tertinggal dalan hal seperti ini. Dimana seorang perempuan bukan lagi sosok yang awam sebagaimana pemahaman orang-orang masa silam.

Menjadi perempuan karir sudah menjadi hal yang lumrah di zaman modern seperti sekarang ini. Di satu sisi mereka berjuang mengejar karirnya, di sisi lain mereka berjuang untuk mendapatkan kembali kehidupan mereka sebagai perempuan dan sebagai ibu serta merawat anak-anak mereka agar tumbuh menjadi manusia yang seimbang. Atau bisa dikatakan menyandang “double burde”(fungsi ganda), yaitu fungsi domestik (rumah tangga) dan fungsi da'wah.

Tapi yang mungkin perlu digaris bawahi, “karir” disini bukan diharuskan seperti halnya perempuan Eropa yang mayoritas mampu hidup mandiri dengan berbisnis, atau bekerja di instansi tertentu. Sebagian besar perempuan karir di Eropa yang bersuami, tidak mau punya keturunan secepatnya. Ada juga yang tidak mau mengandung anak selamanya. Mereka yang sudah telanjur punya anak, tidak sudi merawat, mengasuh dan mendidik anak-anaknya secara layak. Tak sedikit anak-anak Eropa, meski orang tuanya kaya, dititipkan di panti asuhan, atau diserahkan kepada kakek neneknya untuk diasuh.

Pada kenyataanya, dimasa sekarang, tidak sedikit kita temukan masyarakat Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan, juga kubangan krisis moneter yang tak kunjung reda. Keadaan menjerat ini tentunya menantang setiap individu, laki-laki dan perempuan, untuk bergerak aktif, melawan tantangan zaman yang kian menjerit. Tak terkecuali perempuan, makhluk yang seringkali di beri label “the second human being” ini dituntut untuk eksis diluar rumah supaya tak hanya menjadi sampah masyarakat. Padahal, tuntutan zaman yang krisis dan kritis ini Nampak kian tak terbendungkan. Berangkat dari dilematika ini, lantas, pantaskah domestifikasi perempuan menjadi point yang diandalkan?

Coba kita tengok tatanan tradisi kehidupan masyarakat Jepang, Nampak sebuah corak keharmonisan yang dianjurkan Allah SWT dan Nabi Muhammad saw, dan dapat membawa negaranya makmur, sejahtera, tiada lagi kemiskinan, tiada lagi orang yang minta-minta. Hal ini disebabkan karena wanita wanita Jepang pada umumnya kalau sudah menikah, mereka berhenti bekerja dari kantor, dan mencurahkan perhatian dan waktunya untuk keluarga, dan kalau anak-anaknya sudah besar, tamat SMP atau SMU, kebanyakan ibu-ibu kembali bekerja di luar rumah untuk melanjutkan kariernya dan agar ilmu serta tenaganya dapat bermanfaat untuk orang banyak. Ibu-ibu Jepang ada yang menduduki jabatan tinggi sebagai menteri. Dengan begitu sesungguhnya kaum wanita juga dituntut untuk terus maju dan tidak menyerah ataupun pasrah begitu saja.

Menjadi perempuan karir dalam artian perempuan yang bekerja di luar rumah dan meniti karir sampai puncak adalah mudah, Asal memiliki kecakapan yang cukup plus kemampuan yang baik, dan jikalau perempuan itu pasif, maka tidak menutup kemungkinan adanya waktu luang, tentunya, sebuah “kekosongan” pasti akan menggrogoti masa kita. Akan lebih baik lagi kalau wanita tersebut bisa menggunakan waktu dengan sesuatu yang bermanfaat. Dan itu pastinya akan menambah ibadah kita apabila amalan tersebut dikerjakan dengan ikhlas. Sebagaimana yang ditulis dalam qoidah furu’ fiqh Syafi’iyah “ma kana aktsaru fi’lan, kana aktsaru fadhlan.”

Jadi tidak ada salahnya seorang perempuan untuk bergerak asalkan yang dikerjakan itu baik dan yang terpenting tidak meninggalkan tugas utamanya dalam keluarga. Karena anak adalah hadiah dari Allah SWT yang sangat berharga dibandingkan dengan pekerjaan, organisasi, rumah, mobil mewah dan kebutuhan duniawi yang lainya. Anak-anak jualah yang akan membantu orang tuanya di kala sudah menua, dan satu yang perlu kita ingat bahwa anaklah yang akan mendoakan orang tuanya di kala orang tua sudah meninggal dunia.

* Sang “WONDER WOMEN” Berpengaruh

1, Khodijah Binti Khuwailid (Ummul Mu’minin.

Rasulullah SAW punya seorang istri yang tidak hanya berdiam diri serta bersembunyi didalam kamarnya. Sebaliknya dia adalah seorang perempuan yang aktif dalam dunia bisnis. Bahkan sebelum Rasul menikahinya Rasul pernah menjalin kerjasama bisnis kenegeri syam. Dan setelah menikahinya tidak berarti khodijah berhenti dari aktivitasnya. Bahkan harta hasil jerih payah bisnis Khodijah amat banyak menunjang dakwah dimasa awal. Karena pada waktu itu belum ada sumber dana penunjang dakwah yang bisa diandalkan. Dari sini kita bisa mengetahui bahwasanya istri nabi sekalipun punya kesempatan untuk keluar rumah mengurus bisnisnya , bahkan setelah memiliki anak sekalipun.

2, Aisyah binti Abu Bakar (ummul mu’minin).

Sepeninggal Khodijah, Rasulullah beristrikan Aisyah, seorang perempuan yang cerdas, muda dan cantik, yang kiprahnya ditengah masyarakat tidak diragukan lagi. Posisinya sebagai seorang istri tidak menghalanginya dari aktif ditengah masyarakat. Semasa rasul masih hidup, beliau sering kali ikut keluar madinah, ikut berbagai operasi peperangan. Dan sepeninggalRasul, Aisyah adalah guru dari para sahabat yang mampu memberikan penjelasan dan keterangan tentang ajaran islam. Sampai-sampai zuhro pernah berkata: “ilmu Aisyah lebih afdhol dari pada ilmu yang dimiliki oleh semua ummahatul mu’minin, bahkan ilmu dari semua perempuan sekalipun.”

3. Ummu Sulaim binti milhan.

Kaum muslimin yang hidup semasa dengan Rasulullah SAW dikenal dengan
sebutan "sahabah" bagi yang laki-laki dan "Shahabiyah" bagi perempuan. Para shahabiyah ikut andil bersama rasul untuk berdakwah.salah satunya adalah Ummu sulaim yang sangat setia pada rasul serta aktif berjuang bersamanya yang bertugas di luar rumah sebagai pemberi makanan dan minuman kepada pejuang-pejuang Islam.

4, Rufaydah Al-Aslamiyyah.

adalah doktor perempuan Islam pertama yang Nabi sediakan sebuah khemah khas di Masjid Nabi untuk tujuan rawatan bagi pejuang-pejuang Islam yang cedera ketika peperangan Khandaq. Akhirnya Rufaidah sangat ma’ruf ketika itu. dan tidak berhenti sampai disitu. Bahkan Rufaidah selalu ikut dalam peperangan untuk mengobati para mujahidin yang membutuhkan pertolongan.

5. Raden Ajeng (R.A) Kartini.

Di Indonesia, emansipasi perempuan dipelopori oleh Raden Ajeng (R.A) Kartini. Substansi emansipasinya adalah memerdekakan perempuan dari belenggu perbudakan kaum laki-laki, yang mana Kaum perempuan di zaman Belanda (sebelum 1945 M) adalah sosok pribadi yang lemah, tertindas dan tidak memiliki harga diri.Wanita di saat itu hanyalah sebagai budak, buruh, penghibur dan pelampias nafsu birahi kaum laki-laki. Lalu gagasan brilian dari Kartini dimuat dalam sebuah karyanya “Habis Gelap Terbitlah Terang”, untuk membebaskan kaum wanita yang terbelenggu, dan mengangkat harkat martabat serta derajat perempuan Indonesia.

* Syarat diperbolehkanya perempuan keluar rumah

1, Mengenakan Pakaian yang menutup aurat.

”Wahai nabi!, Katakanlah kepada istri-istrimu,anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang beriman, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka” (Al-Ahzab:59)

2, Tidak tabarruj atau memamerkan perhiasan dan kecantikan.

“Janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dulu”.(Al-Ahzab:33)

3, Tidak melunakkan, memerdukan atau mendesahkan suara.

“Janganlah kamu menunuduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik” (Al-Ahzab:23)

4,Menjaga pandangan.

“Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman agar mereka menjaga pandanganya dan memelihara kemaluanya, dan janganlah menampakkan perhiasanya (auratnya), kecuali yang (biasa)terlihat.”(Annur:31)

5, Mendapatkan izin dari suami.

Banyak kita jumpai perempuan ataupun muslimah yang menyepelekan hal ini, padahal izin dari seorang suami merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan berumah tangga. Pada dasarnya memang perempuan harus mendapatkan izin suami untuk keluar rumah. Namun tidak harus juga diterapkan secara kaku yang mengesankan bahwa Islam mengekang kebebasan perempuan.

* Epilog

Dalam pembahasan ini, sesungguhnya tak ada maksud sama sekali untuk mendukung sepenuhnya semangat emansipatoris yang didengungkan oleh kaum feminis. Tak semua karya mereka kita terima dengn tangan terbuka, perlu kita cerna satu persatu. Ada sebagian yang layak kita apresiasi. Dan sebagian yang lain harus kita kritisi. Akan tetapi alangkah akan lebih baiknya apabila ada wujud perempuan yang mampu membagi waktu, dalam artian bisa menyeimbangkan antara karir dan keluarga, menyeimbangkan materi dan fikiran antara keluarga dan peran di masyarakat. Karena dengan ini akan menjadi sebuah bukti yang kongkrit betapa berdayanya perempuan!!!. Wallahu a’lam bishawab.


Daftar Pustaka

1. Al-quran & Terjemahnya oleh Dapertemen Agama RI, Al-hikmah, Jawa barat, Indonesia
2. Sa’id Abdurro’uf, Al-Qodir. Adhwa’u ‘ala Nudzum Al-Islamiyah
3. Assayuti, Jamaluddin. Al-Asybah Wannadho’ir fi qowa’id wa furu’I fiqih Syafi’iyah
4. Ali, Al-Qothib. Nisa’un haula Rasul
5. Abdul Hamid, Istitah. Tarikh As-sunnah

4 komentar:

  1. Wooow...baru sadar,ternyata adikku punya bakat nulis yang bagus..kalau baru dapat ilmu yang baru,cepet2 di publish di blog yaaaaaah...kan lumayan tuuh, ngasi ilmu via Net, sekalian beribadaaaaaah...heheheeee

    BalasHapus
  2. hmm... syapa dulu kakak nya...???
    heheheee...
    yg jelas tulisan ini blom ada apa2nya..
    nrul masih harus banyak belajar lg...
    baca, baca, dan baca....

    BalasHapus
  3. hem Semoga ini akan menjadi langkah awal yg baik,Unt menjadi seorang penulis itu d butuhkan wawasan yg luas (bnyak mebca),Dan unt mengetahui tulisan kita bagus g nya itu d btuhkan orang yg lebh penglaman dalam menulis (jurnalis),Good luck

    BalasHapus
  4. Trimakasih atas nasehatnya...^_^,.

    sungguh masukan yg luar biasa...!!!!

    BalasHapus