Rabu, 07 Desember 2011

Ibnu Rusyd

“Sosok rasionalis dan bukanlah seorang Free Thinker…” (Philip K. Hitti)

Prolog

Kehadirannya dalam sejarah intelektualisme islam signifikan baik bagi usaha mengurai benang kusut pemikiran maupun dalam menghidupkan kembali filsafat yang telah memasuki titik nadir. Hal terpenting dari kiprah Ibnu Rusyd dalam bidang ilmu pengetahuan adalah usahanya untuk menerjemahkan dan melengkapi karya-karya pemikir Yunani, terutama karya Aristoteles dan Plato, yang mempunyai pengaruh selama berabad-abad lamanya. Antara tahun 1169-1195 M.

Ibnu Rusyd banyak menulis komentar dan penjelasan terhadap karangan para filosof yunani khususnya Aristoteles baik dalam komentar singkat (al-jami’), sederhana (talkhis), ataupun komentar luas (tafsir), sehingga Ibnu Rusyd juga populer dengan sebutan ”al-Syarih al-Akbar / the great commentator”.

Analisanya telah mampu menghadirkan secara lengkap pemikiran Aristoteles. Ia pun melengkapi telaahnya dengan menggunakan komentar-komentar klasik dari Themisius, Alexander of Aphiordisius, al Farabi dengan Falasifah-nya, dan komentar Ibnu Sina. Komentarnya terhadap percobaan Aristoteles mengenai ilmu-ilmu alam, memperlihatkan kemampuan luar biasa dalam menghasilkan sebuah observasi.

Filosof muslim cordova ini dianggap sebagai pensyarah pertama yang paling berpengaruh di dataran Eropa. Banyak tokoh Eropa melakukan kajian terhadap karya-karya beliau dalam beberapa bahasa, seperti bahasa latin, dan bahasa Ibrani. Dimana pemikiran dan karya-karya Ibnu Rusyd ini sampai ke dunia Barat melalui Ernest Renan.
Bagaimana Ibnu Rusyd menguraikan lebih lanjut teori rasionalnya, inilah yang akan menjadi pokok masalah dalam tulisan berikut.

A. Logika ( pemikiran Ibnu Rusyd)

Dalam permasalahan logika satuan proposisi terkecil yakni “kata”. Kata menjadi penting karena merupakan unsur dalam membentuk pemikiran. Pada praktiknya kata dapat dilihat berdasarkan beberapa pengertian yakni positif (penegasan adanya sesuatu), negatif (tidak adanya sesuatu), universal (mengikat keseluruhan), partikular (mengikat keseluruhan tapi tak banyak), singular (mengikat sedikit/terbatas), konkret (menunjuk sebuah benda), abstrak (menunjuk sifat, keadaan, kegiatan yang terlepas dari objek tertentu), mutlak (dapat difahami sendiri tanpa hubungan dengan benda lain), relatif (dapat difahami sendiri jika ada hubungan dengan benda lain), bermakna/tak bermakna, dsb.

Logika sebagai teori penyimpulan, berlandaskan pada suatu konsep yang dinyatakan dalam bentuk kata atau istilah, dan dapat diungkapkan dalam bentuk himpunan sehingga setiap konsep mempunyai himpunan, mempunyai keluasan. Dengan dasar himpunan karena semua unsur penalaran dalam logika pembuktiannya menggunakan diagram himpunan, dan ini merupakan pembuktian secara formal jika diungkapkan dengan diagram himpunan sah dan tepat karena sah dan tepat pula penalaran tersebut.

Pengertian ini tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa seseorang dengan sendirinya mampu menalar atau berpikir secara tepat hanya jika ia mempelajari logika. Namun , di lain pihak, harus juga diakui bahwa orang yang telah mempelajari logika (sudah memiliki pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir), mempunyai kemungkinan lebih besar untuk berpikir secara tepat ketimbang orang yang sama sekali tidak pernah berkenalan dengan prinsip-prinsip dasar yang melandasi setiap kegiatan penalaran.

Dengan ini hendak dikatakan bahwa suatu studi yang tepat tentang logika tidak hanya memungkinkan seseorang untuk memperoleh pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir tepat saja, melainkan juga membuat orang yang bersangkutan mampu berpikir sendiri secara tepat dan kemudian mampu untuk membedakan penalaran yang tepat dari penalaran yang tidak tepat.

Ibnu Rusyd berargumentasi bahwa di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk menggunakan akal untuk memahami segala yang wujud. Karena akal ini tidak lain daripada proses berfikir yang menggunakan metode logika analogi (qiyas al-‘aqli), maka metode yang terbaik menurut sang poinir rasionalis ini adalah metode demonstrasi (qiyas al-burhani). Sama seperti qiyas dalam ilmu Fiqh (qiyas al-fiqhi), yang digunakan untuk menyimpulkan ketentuan hukum. metode demonstrasi (qiyas al-burhan) digunakan untuk mamahami segala yang wujud (al-maujudat). Dari pemahaman tersebut merupakan asas bagi kesimpulan Ibn Rushd yang menyatakan bahwa para filosof memiliki otoritas untuk menta’wilkan al-Quran.

Berasaskan pada kemampuan akal manusia, Ibnu Rusyd membagi kedalam tiga kelompok: Pertama “kelompok ahli awam”, metode ilmu pngetahuan yang sesuai untuk ahli awam ini adalah khathabi (retoris), dengan begitu al-Quran tidak dapat di ta’wilkan, karena mereka hanya orang-orang yang memahami al-Quran secara tertulis. Kedua, “kelompok pendebat”, untuk para pengguna metode ilmu pengetahuan secara dialetik ini ta’wil juga sulit diterapkan. dan ketiga adalah “kelompok ahli hikmah (ahli fikir)”, merekalah orang-orang yang menggunakan metode burhani (demonstratif), sementara ta’wil secara tertulis dalam bentuk karya, hanya bisa diperuntukkan bagi kaum ahli hikmah ini.


B. Syari’ah dzahir dan batin

wahyu dibagi kedalam tiga bentuk makna yang terkandung didalamnya yaitu :

• Teks yang maknanya dapat difahami dengan tiga metode yang berbeda (metode retorik, dialektik dan demonstratif)

• Teks yang maknanya hanya dapat diketahui dengan metode demonstrasi. Makna yang terkandung dalam teks ini terdiri dari:
a) makna dzahir, yaitu teks yang mengandung simbol-simbol (amtsal) yang dibuat untuk menerangkan idea-idea yang dimaksud.
b) makna batin, yaitu teks yang mengandungi idea-idea itu sendiri dan hanya dapat difahami oleh yang disebut ahli al-burhan.

• Teks yang bersifat ambiguos antara dzahir dan batin. Klassifikasi teks wahyu ini juga merujuk kepada kemungkinan untuk dapat difahami dengan akal.

Maka itu ia memahami istilah “ta’wil” sebagai penafsiran dan penjelasan ucapan, ia tetap menekankan pada kesesuaiannya dengan makna dzahir dari lafadz ucapan itu. Dalam pandangannya perkataan dzahir yang dapat difahami dari lafadz bermacam-macam bentuknya, ada yang menurut konteksnya dan ada pula yang difahami sesuai dengan ikatan-ikatan yang ada didalamnya.


Untuk itu, Ibnu Rusyd menetapkan tiga syarat, agar ta’wil itu dapat diterima:

1) menjaga agar lafadz itu sesuai dengan makna yang terdapat dalam Bahasa Arab dan maksud al-syari’ serta tidak memahami dengan makna lain.
2) menjaga agar maknanya sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pembicara dalam konteks lafaznya.
3) memperhatikan “mustawa al-ma’rifi” (tingkatan nalar dan pengetahuan) kepada siapa “ta’wil” itu dihadapkan.

Oleh itu kita tidak boleh menta’wilkan lafadz-lafadz al-Qur’an dengan sesuka hati tanpa mengkaji maksud yang sesungguhnya sesuai dengan konteks masing-masing lafadz.


C.Penciptaan alam

ayat-ayat Allah terbagi atas dua macam: yaitu ayat-ayat berupa Kitab Suci (qauliyah) dan yang Kedua adalah ayat-ayat berupa alam semesta sebagai ciptaan Allah (kauniyah). Menurut filsuf Muslim Ibn Rusyd, alam semesta justru merupakan ayat-ayat Allah yang pertama. Dikatakan demikian, karena sebelum Allah SWT menurunkan Kitab Taurat, Injil, dan al-Quran, Allah telah menciptakan alam jagat raya ini. Karena alam adalah ayat, maka sebagaimana sepotong firman adalah ayat, maka sejengkal alam juga ayat. Sebagai ayat, alam ini selalu bergerak memenuhi tujuan penciptaan. Karena itu, penelitian terhadap alam diduga kuat dapat mengantar manusia menemukan dan meyakini wujud Allah dan kuasa-Nya.

Sebagian pengkaji filsafat menilai bahwa Ibnu Rusyd memiliki dua pendapat tentang asal-usul alam. Kepada masyarakat awam, Ibnu Rusyd tidak berpendapat tentang Qadimnya alam, hanya sekedar mengemukakan teorinya tentang peciptaan alam, sedangkan dalm beberapa kitabnya untuk kajian filosofis, ia dengan tegas menguraikan argumentasi tentang keqidaman alam.

Walaupun demukian, pada hakikatnya Ibnu Rusyd melakukannya sekedar untuk menjaga keutuhan teorinya pada setiapkarya-karyanya. Yang dimaksud dengan Qadimya alam yaitu qadim hanya dari segi zaman, bukan dalam pengertian tidak memiliki ‘illah atau tidak diciptakan oleh Tuhan, dalam artian ia menolak pendapat bahwa materi adalah ‘illah bagi dirinya sendiri, sehingga tidak ada bedanya dengan dzat Tuhan.

Dalam penciptaan alam, sosok yang banyak dipengaruhi oleh madzhab Aristoteles ini menganut teori “Kausalitas” (hukum sebab akibat), dalam memahami alam harus dengan dalil-dalil tertentu agar dapat sampai pada hakikat dan eksistensi alam.

Para teolog dan Imam Ghazali dalam karya monumentalnya (Tahfut al-Falasifah), menyatakan bahwa alam hadits dan mempercayai bahwa Tuhan adalah pencipta sehingga Ia mengadakan sesuatu dari “tiada” (al-‘adam). Jika alam tidak bermula, maka alam tidak diciptakan sehingga Tuhan bukanlah maha pencipta.

Ibnu Rusyd dan para Filosof Islam mengatakan bahwa alam adalah qodim, namun dengan kata lain diciptakan dari yg ada dahulu, yang mungkin terjadi adalah “ada” (maujud) yang awal kemudian berubah menjadi “ada” (maujud) dalam bentuk lain. Hal ini ia perkuat dengan mengusung dalil dalam al-Quran:

Surat Hud : ayat 7 ; dikatakan secara garis besar, bahwa sebelum ada wujud langit dan bumi telah ada wujud lain, yaitu wujud air, yang diatasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan, ditegaskan lagi bahwa langit dan bumi diciptakan setelah air, tahta, dan masa.

Surat Fushilat : ayat 11 ; dikatakan bahwa Tuhan menciptakan 2 bumi dalam 2 masa menghiasi bumi dengan gunung dan diisi dengan berbagai macam makanan, kemudian Tuhan naik ke langit, yang masih merupakan uap, sehingga dita’wilkan langit tercipta dari uap.

Surat al-Anbiya’ : ayat 30 ; dikatakn bahwa bumi dan langit pada mulanya adalah satu unsur yang sama, kemudian dipecah menjadi dua benda yang berlainan.

Dari keterangan diatas, maka tampak bahwa kejadian alam terjadi dengan adanya “sebab akibat” (hokum kausalitas), namun al-Ghazali mengingkari hal ini.

Untuk menengahi bahwa alam itu qodim, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa sebenarnya antara Filosof dan ahli Syari’ah telah sepakat bahwa ada tiga macam “wujud” (yang berkaitan dengan hal ini) :

Wujud baru (karena sebab sesuatu) Dari sesuatu yang lain, dan kerena sesuatu. Yakni zat pembuat dari benda, ini adalah benda yang kejadiannya bisa terlihat oleh panca indra, seperti terjadinya air, udara, bumi, hewan, tumbuh-tumbuhan, dsb.

Wujud Qodim (tanpa sebab sesuatu) yaitu wujud yang bukan dari sesuatu, tidak karena sesuatu, dan tidak didahului oleh zaman. Wujud ini tidak dapat diketahui dengan bukti-bukti fikiran, seperti “Tuhan”

Wujud Antara (Wujud diantara kedua wujud ini) wujud yang bukan dari sesuatu, dan tidak didahului oleh zaman, tetapi wujud karena sesuatu (yaitu zat pembuat), wujud itu adalah “alam dan keseluruhan


D. Politik

Membicarakan Ibnu Rusyd sebagai seorang failosuf bukanlah sesuatu yang asing, baik oleh umat Islam atau non Islam terutama di dunia Barat, karena ia terkenal dengan pemikiran filsafatnya, sehingga muncul suatu ungkapan “Aristoteles dikembalikan tanpa basa basi ke Barat yang merupakan dunianya bersama Averroes muridnya yang besar”

Lain halnya membicarakan Ibnu Rusyd sebagai seorang politik tidak sepopuler dia sebagai seorang failosuf. Sejarah tidak bersikap adil terhadap orang besar seperti Ibnu Rusyd mengenai jasanya dibidang politik. Kebesaran di lapangan falsafat dibesar-besarkan di zaman pertengahan, baik hasil karyanya yang mengagungkan, dan kebesarannya di bidang kedokteran, Astronomi dan lapangan ilmu lainnya.

Tetapi di lapangan “politik” tidak pernah disinggung kebesaran Ibnu Rusyd. Bukan tidak ada buku-buku hasil karyanya di dalam politik, bukan tidak pernah dia bekerja dilapangan pemerintahan. Dan tidak kurang pendapat yang dilahirkannya mempunyai nilai yang tinggi. Anehnya sejarah tidak memasukkan Ibnu Rusyd sebagai seorang “politikus” yang ulung, yang sejajar kedudukannya dengan politik Islam lainnya.

Kendatipun demikian, ada beberapa alasan untuk menelusuri pemikiran “politik” Ibnu Rusyd. pertama, pemerintahan Islam di tempat kelahirannya (Andalusia) yang berjalan lebih kurang 8 abad yang mengakui kejayaannya, tidak mungkin kosong sama sekali dari seorang politikus. Kedua, aktivitas Ibnu Rusyd sendiri yang memberi komentar-komentar terhadap buku-buku dari failosuf-failosuf Yunani (Aristoteles dan Plato), tidak masuk akal, sarjana seperti Ibnu Rusyd tidak mempunyai apa-apa dalam Ilmu Politik. Ketiga, Ibnu Rusyd termasuk salah seorang Failosuf muslim tidak mungkin meninggalkan satu bagian dari falsafat yaitu “Ilmu Politik”.

Bukti beliau pernah berpolitik :Ibnu Rusyd menjabat pekerjaan hakim dalam pemerintahan sampai tingkat yang tinggi yaitu sebagai Ketua Mahkamah Agung (Qadhi all Jama’ah), jabatan hakim dipangkunya selama 16 tahun (565 sampai 521H).

Ibnu Rusyd yang dikenal sebagai bapa sekuler di dataran Barat ini membantah terhadap pemerintahan yang diktator pada masanya: sebuah hukum yang dikatakan Ibn Rusyd dengan istilah yang diciptakannya sendiri dengan istilah Wahdaniyyah Al-Tasalluth (kekuasaan yang egois). Sebagaimana telah ia tegaskan bahwa pemimpin yang zalim “alladzi yaqumu bi al-hukmi fi sabili nafsihi, la fi sabil ummah”


Epilog

Filosof muslim penganut madzhab maliki dalam bidang fikih ini telah menorehkan warna filsafat yang lebih spesifik. Beliau sangat menyayangkan terjadinya perpecahan dikalangan kaum Muslimin, menjadi golongan-golongan seperti Mu’tazilah, khawarij, Syi’ah dll. Masing-masing mengaku telah mencapai kebenaran, sedang lainnya sesat. Hal ini tidak lain dikarenakan salah memahami maksud Syari’at.

Dengan pemikiran-pemikirannya dan pendapat-pendapatnya ia tidak bermaksud menimbulkan golongan baru, tetapi ia hendak mengemukakan argumentasi-argumentasi kepercayaan-keprcayaan agama yang tepat diterima oleh setiap orang. Tujuan filosof besar ini tak lain hanya ingin mengharmonikan antara agama dan akal, dan sangat mengajarkan pada kita tuk saling menghargai dan ramah tamah.

Dari perspektif penulis, ada suatu penilaian khusus dengan menempatkan filsafat Ibnu Rusyd secara lebih proporsional. Dalam pandangan ini, Ibnu Rusyd bukan seorang materialis murni, juga bukan seorang idealis religius sejati, namun lebih sesuai sebagai filosof muslim yang berusaha merambah jalan tengah diantara dua belantara pemikiran.

Sejatinya Ibnu Rusyd hanya ingin menghidupkan kembali cahaya filsafat yang pada saat itu semakin meredup, bahkan umat islam sampai sekarangpun masih dapat menikmati panorama filsafat itu, meskipun tidak seindah di barat (ini adalah bukti perjuangannya).

Akhir kalam, apapun pandangan filosofis Ibnu Rusyd sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa pemikiranya adalah paling benar (karena itu hanya merupakan sebuah ijtihad) Ijtihad seorang manusia bisa saja benar dan bisa saja salah, hakikat kebenaran hanya Allah Swt yang mengetahui dan memilikinya. wallahu a’lam bishawab








Daftar Pustaka

1. Dr. Manna Ahmad Abu Zaid, Musu’ah al-Falsafah al-Islamiyah. Hal- 68
2. Ibnu Rusyd, al-Dhorury fi ushul al-fiqh, Darul maghrib al-Islamy bairut, hal- 64 65.
3. Dr. Muhammad ‘Abid al-Jabiri, makalah al-Madrasah al-Falsafiyah fi al-Maghrib wa al-Andalus.
4. Abu Hamid Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Cairo
5. Abu al-Walid Muhammad ibnu Rusyd, Tahafut-Tahafut, Cairo
6. Averroes and Averroisme, Ernest Renan. Yang diterjemahkan ‘Adil Za’iyyah dalam bukunya “Ibnu Rusyd wa rusydiyah” maktabah al-tsaqofah al-Diniyyah, Cairo.

3 komentar:

  1. di presentasikan pada kajian Madrasah al-A'qidah wa al-Falsafah (MAF). Senin, 5 Desember 2011.

    moga b'manfaat ^_^,.

    BalasHapus
  2. Owh ini mklah kmrn yg d prentasikan,,?
    Makasih dah berbagi

    BalasHapus
  3. mantabzzzz sobat :)

    BalasHapus