Minggu, 11 September 2011

“ Abu Musthafa “

Siang itu, udara di Mesir cukup membuat ubun-ubunku makin mendidih. Dengan suhu panas yang tinggi ini, membuat kebanyakan orang mengurungkan niatnya tuk keluar dari rumah. Aku yang kebetulan baru pulang kuliah, berjalan menelusuri gang Gami’ (salah satu gang di H-10) bagaikan berjalan di tengah-tengah gurun sahara yang sama sekali tak ada tempatku tuk berlindung dari teriknya matahari.

Huuuuuufh… betul-betul melelahkan. Beginilah hanya secuil gambaran perjuanganku untuk beradaptasi dengan keadaan di Negeri ini.

Tiba-tiba saja handphoneku berbunyi tepat ketika aku sudah masuk di gerbang flat. Dengan sedikit mengerutkan dahi, aku baca sebuah massage yang baru masuk.

“Vra, gas dan keran air dapur bermasalah lagi, kita minta tolong kalau anti pulang, hampiri Osama ya. Mksh”

Hhhh.. aku hanya bisa menghela nafas panjang. Kenapa massage ini baru sampai ketika aku sudah menutup gerbang flat, berarti itu sama saja aku harus keluar lagi, tuk menemui Osama (beliau adalah salah satu orang yang punya toko peralatan bangunan di Gami’)

Tak terbayang olehku, kalau saja sms itu tiba-tiba muncul ketika aku sudah berada di tingkat tiga atau empat, dan seterusnya. Haruskah aku turun lagi? Ya emang flat kami berada paling atas (tingkat enam) plus tidak ada lift. jadi sudah terbiasa tuk selalu olah raga dengan menaiki satu persatu anak tangga yang berjumlah 120 itu.

Di tengah perjalanan menuju toko Osama, Aku menjumpai sosok orang tua juga sepuh, beliau duduk di bawah pohon yang trnyata juga tak begitu rindang. tidak salah lagi, dialah abu musthafa. Tempat itu adalah tempat kegemarannya. Tiap kali melintasi jalan itu, pasti kita menemukan beliau sedang duduk santai di situ.



Abu musthafa tinggal sendiri di Cairo ini. Istrinya sudah lama meninggal dunia. Padahal beliau punya satu anak bernama “mushtafa”, dengan itu beliau kerap dipanggil “abu musthafa”. Konon, kabarnya si anak ntah pergi kemana,sampai bertahun-tahun tidak kunjung pulang. Hinggalah kini Abu Musthafa hidup sebatangkara.

“Assalamu alaik ya baba” Sapaku. (baba adalah panggilan ayah tuk orang mesir)

“Wa’aliki salam ya aisyah” jawabnya. (beliau memang menggilku dengan nama aisyah, karena dengan nama asliku “Avra” katanya susah tuk melafalkannya, tapi hanya beliau saja yang memanggilku dengan nama itu). Lalu Beliau bertanya tujuanku hendak kemana.

Akhirnya, aku hanya bisa jelaskan dengan singkat masalah gas dan keran air yang rusak, lalu aku berniat mau ke toko Osama.

Kami memanglah tinggal di flat yang di dalamnya adalah putri semua, jadi maklum kalau ada perabotan rumah yang bermasalah atau rusak, kami biasanya meminta Osama tuk memperbaikinya.

Tiba-tiba abu musthafa beranjak dari duduknya. Lalu berjalan menuju flat.

“ ya baba, ruh fien?” (pak mau kemana?) kataku hampir sedikit berteriak. Karena abu musthafa sudah hampir jauh.

Aku jadi heran sendiri, beliau emang tidak banyak omong, Selalu diam. Tapi dibalik diamnya, beliau sangatlah ramah dengan siapapun. Tanpa bicara sedikitpun beliau hanya memberikan isyarat menyuruhku untuk balik lagi ke flat.

Masih dengan penuh tanda Tanya, aku hanya bisa mengikuti beliau dari belakang. Beliau sangat hafal flat kami. Sebenarnya kami sudah kenal lama dengan abu musthafa. Karena rumah beliau tepat didepan flat.

Ketika membukakan pintu, Dina yang mengirimkanku massage barusan terheran. Tapi tetap menyambut abu musthafa dengan senyum.

“Ahlan wa sahlan ya baba” sambut Dina.

Dina menutup pintu lalu memandangiku dengan penuh tanda Tanya. Tanpa dengan berbicarapun aku bisa membaca kalimat dari raut wajahnya. Mana Osama? Lalu abu musthafa?

Hmm,,, jangankan Dina, aku sendiripun belum mengerti apa maksud abu musthafa menyuruhku tuk balik lagi ke flat. Sementara aku belum sempat ke toko Osama.

Tanpa basa basi abu musthafa langsung menuju dapur, lalu mengotak-atik gas dan keran yang rusak. ternyata beliau berniat baik tuk memperbaiki gas dan keran itu. Dengan waktu yang singkat, keran pun pulih lagi. Setelah itu, barulah kami melihat senyum abu musthafa yang sumringah, begitu melihat air yang keluar lancar dari keran itu.


------------- ********** --------------


Selang berapa hari Abu musthafa datang lagi ke flat kami. Namun kali ini bukanlah masalah dengan perabotan rumah yang rusak, lalu hal apa yang mendatangkan beliau kemari?

Aku dan kawan-kawan serumah senang dengan kedatangan abu musthafa, Karena beliau sudah banyak membantu kami semua. yang tidak kami sangka sebelumnya. Beliau datang dengan membawa beras, macaroni, gula, dan bahan sembako lainnya.

Beliau hanya bertutur singkat “ kalian adalah anak-anakku, dan datang dari Indonesia ke sini tuk menuntut ilmu, ini semua lebih pantas aku berikan tuk kalian”

Setelah beliau meninggalkan flat, kami semua merasa heran, sedih, haru membaur jadi satu. bagaimana tidak, Kami semua tahu kalau selama ini abu musthafa selalu mendapatkan bantuan dari masyarakat sekitar. Karena beliau dianggap orang yang kurang mampu, hidup sebatang kara, pun tidak punya penghasilan apa-apa, bahkan kalau boleh dibilang mungkin beliau memang selayaknya tuk menerima bantuan dari orang-orang.
Lantas, bagaimana bisa Abu mushtafa menyerahkan bantuan itu kekami? Beliau beranggapan kalau kami ini adalah musafir juga menuntut ilmu fi sabilillah, yang lebih berhaq tuk menerima bantuan itu, dibandingkan dengan dirinya.


----------------*******------------------


Ada ide bagus dari teman-teman, kami ingin memberikan kejutan tuk abu musthafa, dengan memberikan makanan khas Indonesia yang kami masak sendiri. Kami hanya ingin melihat beliau senang.

Tepat setelah shalat maghrib, aku dan Dina pergi ke rumah Abu Musthafa, berniat hanya tuk antarkan makanan itu.

Baru kali ini aku singgah ke rumah beliau, sebelum-sebelumnya hanya melewati dari luar saja, dan itu juga tidak begitu terlihat jelas, karena tertutup oleh pagar flat sebelah yang lumayan tinggi.

Abu Musthafa tampak senang kami bisa singgah ke sana. Kebetulan sekali beliau sedang makan malam. Aku dan Dina membawakan pempek makanan khas Palembang, dan makanan ringan lainnya.

Aku fikir tidak ada yang dapat menyerupai rumah abu musthafa, dan aku yakin ini adalah rumah satu-satunya yang berbeda di Cairo. Rumah yang hanya sepetak saja. Aku tidak tahu pasti berapa ukuran rumah beliau. Namun yang jelas rumah itu tidak ada sekatnya. Hanya berisikan ranjang kecil, lalu di ujung ranjang itu ada sebuah meja yang di atasnya adalah TV (seperti di zaman kuno) hanya berwarna hitam putih, itupun terkadang buram dengan semut-semut yang berhamburan dilayarnya hingga gambarnya tidak tampak jelas. Lalu di samping ranjangnya ada sebuah tikar lusuh yang sekarang kami bertiga duduk di atasnya. Itulah rumah abu musthafa.

Melihat beliau makan, aku jadi teringat kakekku. Hanya saja nasib kakekku lebih beruntung karena masih ada anak-anaknya disampingnya. Sedangkan abu musthafa, hidup sebatangkara dalam mengarungi nasib dimasa tuanya.

Akhirnya kami pamit pulang. Setelah cukup banyak memperhatikan abu musthafa di Rumahnya, banyak hal yang bisa aku pelajari dari itu semua. Ternyata di zaman sekarang masih ada orang seperti abu musthafa. Aku kira dengan kehidupan yang semakin serba modern ini, sudah tidak ada kesulitan dan kesengsaraan dalam hal apapun. Hanya saja aku masih kurang memperhatikan kehidupan di luar sana, dimana masih banyak orang-orang yang hidup dengan serba kekurangan.

Tanpa kusadari di perjalanan pulang tak kuasa mata ini menahan air mata. Aku hanya bisa berdoa agar beliau selalu diberikan kesehatan. Dan aku yakin, dengan penuh rasa syukur beliau, itulah yang membuat sosok abu musthafa bertahan dalam melewati kehidupan yang fana ini..

4 komentar:

  1. mo kenalan ma "abu musthafa"..?? ayo ana ajak kerumahnya dech...>> tp klo fhotonya itu hanya ilistrasi jha hehehe...^_^,.

    BalasHapus
  2. hemm...
    mau banget sih, tp ga sanggup maen jauh-jauh.
    hahaa


    :D

    BalasHapus